Saturday, March 4, 2017

David Brainerd: Misionaris bagi Suku Indian Amerika

David Brainerd
Mayoritas orang Eropa datang ke Benua Amerika pertama kalinya bukanlah untuk membangun kehidupan penduduk asli di sana, melainkan justru untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari mereka. Orang Kristen yang datang bukannya mengajar mereka membaca, tetapi mengajar mereka menembak; bukannya mengajar mereka berdoa, tetapi mengajar mereka minum minuman keras; bukannya menanamkan prinsip dan kejujuran Kristen, melainkan melakukan penipuan agar memperoleh bulu binatang dan perhiasan. Di tengah kondisi demikianlah David Brainerd pergi ke daerah-daerah penduduk asli dengan tujuan membawa mereka kepada iman yang sama yang dimiliki Brainerd.



Secara singkat kehidupan Brainerd dapat diringkas dalam tiga pertemuannya dengan “kehilangan”. Pada umur 8 tahun, Brainerd kehilangan ayahnya, kemudian pada umur 15 tahun, dia kehilangan ibunya. Akhirnya pada umur 29 tahun, dia kehilangan nyawanya sendiri.

Catatan masa kecil Brainerd tidak banyak, tetapi sifat yang terlihat dari sebagian besar hidupnya adalah keseriusan dan melankolis yang kuat. Brainerd hidup dengan ketat dan senantiasa serius menjalankan kewajiban agamanya. Dia mengatakan, “Saya selalu melaksanakan kewajiban saya tanpa henti, konstan, bersemangat; dan saya sangat suka membaca…” Akan tetapi, meskipun dia suka hal-hal religius, di dalam hatinya dia belum menemukan damai sejahtera dalam Kristus. Jiwanya senantiasa bergejolak untuk memahami apa yang disebut anugerah pertobatan dari Tuhan.

Brainerd sering meluangkan waktunya untuk berdoa dan melakukan kewajiban agama lainnya. Dalam setahun, dia pernah membaca Alkitab sampai habis sebanyak dua kali. Dia menjaga dengan serius pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dia memberitakan firman bagi kalangan umum dan berusaha mengingat sebanyak mungkin khotbah-khotbah pendetanya. Pada malam sabat dia selalu ikut dalam suatu perkumpulan untuk membahas hal-hal religius. Akan tetapi, Brainerd mengenal hatinya sendiri. Dia sadar, dia tidak sungguh-sungguh percaya pada Kristus. Dia justru bersandar pada kewajiban dan perbuatan baiknya. Dia berpikir bahwa dia harus mencapai hasil tertentu, barulah memperoleh pengampunan dari Tuhan. Maka baginya, usaha dirinya melakukan sesuatu untuk Tuhan sangat menentukan keselamatan dirinya.

Di dalam pergumulan kerohaniannya, Brainerd banyak belajar doktrin-doktrin dasar Kristen. Di tengah-tengah pergumulannya terhadap doktrin dasar tersebut, ada tiga kenyataan doktrinal yang bertentangan dengan batinnya. Pertama, tingginya tuntutan dari hukum-hukum Allah. Kedua, hanya iman semata yang membawa manusia berdosa kepada keselamatan. Ketiga, kedaulatan Allah. Brainerd sadar bahwa sekeras apa pun dia berusaha memenuhi tuntutan Allah, dia tidak mungkin bisa melakukannya. Dia juga tidak mengetahui apa itu iman dan bagaimana memperolehnya, dan dia sangat tidak setuju bahwa keselamatan itu tergantung pada Allah saja.

Namun seiring perjalanan waktu, Allah bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi Brainerd yang mengasihi Dia. Konsep Brainerd mulai berubah, dia sadar bahwa dengan usahanya sendiri, dia tidak dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan. Keselamatan adalah hal di luar kemampuannya. Dia kemudian ibaratkan segala usaha, jerih lelah rohani yang dia lakukan, hanya usaha “mendayung dengan tangan”. Kebajikan dan kebaikan yang sudah dia lakukan di masa dulu tidak mungkin dapat memaksa Tuhan untuk melakukan sesuatu bagi keselamatan jiwanya. Sejak kesadaran ilahi inilah, selama delapan tahun terakhir kehidupannya dia tidak pernah lagi meragukan kasih karunia Allah yang telah menyelamatkan jiwanya. Hanya kemuliaan Allahlah yang sekarang menjadi pusat hidupnya.

Masa kuliahnya dilewatinya dengan penuh tantangan. Dengan perjuangan melawan kesakitan tubuhnya, Brainerd berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan kuliah di Universitas Yale dan sempat menjadi mahasiswa yang memiliki nilai terbaik. Sayang sekali, ketika kebangunan rohani yang dikerjakan oleh Jonathan Edwards, George Whitefield, dan rekan-rekan lainnya terjadi, Brainerd menjadi salah satu orang yang lepas kendali akibat api kebangkitan tersebut. Saat itu, Brainerd mengomentari doa dosennya dan terdengar oleh rektor yang tidak suka akan kebangunan rohani yang sedang terjadi. Brainerd dipanggil dan dituntut untuk membuat pernyataan publik bahwa dia menyesal atas ucapannya. Brainerd menolak dengan alasan bahwa yang dia lakukan itu bukan di publik dan merupakan pelanggaran yang kecil. Akhirnya rektor mencari alasan sehingga Brainerd dikeluarkan dari kampus. Brainerd mengalami kesedihan yang mendalam karenanya.

Setelah Brainerd untuk beberapa waktu berhenti kuliah, dia mempersiapkan diri untuk pekerjaan misi. Namun dia tetap berusaha untuk kembali melanjutkan kuliahnya dengan meminta maaf kepada seluruh dewan dosen atas tindakannya yang tidak sepatutnya kepada sesama umat Kristen. Pada mulanya mereka menolak, tetapi akhirnya mereka mau menerima Brainerd kembali untuk kuliah, karena memang sangat jarang sekali seseorang dikeluarkan akibat pelanggaran yang kecil. Pada saat yang sama, Brainerd sudah fokus ke dalam pekerjaan misi sehingga tidak dapat kembali ke Universitas Yale.

Di dalam persiapannya untuk pekerjaan misi, Brainerd menumpang di rumah seorang pendeta. Dalam lingkungan rumah pendeta ini, dia melanjutkan kesibukan yang paling digemarinya yaitu membaca, berdoa, berpuasa, dan merenung. Selain itu dia memiliki kerinduan yang dalam kepada Kristus. Dia mengatakan, “Jiwaku rindu bersekutu dengan Kristus, dan ingin mematikan kebejatan dalam diriku, terutama kesombongan rohani.” Dia juga pernah berkata, “Oh, Penebusku yang manis! Oh, Penebusku yang manis! Siapa yang kumiliki di sorga kalau bukan Engkau? Dan tak ada satu pun di dunia yang kuinginkan selain Engkau. Seandainya aku mempunyai seribu nyawa, jiwaku dengan sukarela akan menyerahkan semua itu sekaligus, untuk dapat berada bersama Kristus.”

Brainerd kemudian diuji oleh sebuah asosiasi pendeta Presbiterian di Connecticut, tentang pandangan doktrinal dan pengetahuan praktisnya berkenaan dengan kekristenan. Setelah lulus semuanya, Brainerd diberi izin untuk memberitakan Injil. Khususnya kerinduan Brainerd memberitakan Injil kepada suku-suku Indian yang tinggal terpencar-pencar di tanah kelahirannya, Connecticut. Hasratnya sedikit demi sedikit bertumbuh dan semakin kuat, akhirnya Brainerd yakin akan panggilannya untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Indian.

Brainerd kemudian memperoleh kesempatan untuk mengabarkan Injil ke pelosok-pelosok. Sebelum itu, Lembaga Misi terlebih dahulu menguji Brainerd. Ketika diuji, Brainerd menganggap dirinya tidak berpengetahuan dan tidak layak, dia merasa dirinya paling celaka di dunia. Namun para pengujinya berpendapat lain, mereka melihat bahwa Brainerd memiliki kerendahan hati, pengenalan doktrin mendalam, dan semangat yang menggebu-gebu bagi keselamatan orang berdosa. Musim gugur tahun 1742, Brainerd ditugaskan melayani di suku-suku Indian daerah Barat Laut Pennsylvania dan suku-suku lain daerah Sungai Susquehanna. Akan tetapi ketika dia hendak ke sana, ada bentrokan antara orang kulit putih dan orang Indian sehingga tidak membawanya kepada pintu penginjilan ke sana. Meskipun demikian, pintu lain terbuka, daerah Kaunaumeek di New York mempunyai prospek yang cerah. Brainerd dipindahtugaskan ke daerah ini sebagai ladang misinya yang pertama.

Di Kaunaumeek, New York, Brainerd beberapa kali bertemu dengan orang Indian. Dia semakin menyadari bahwa betapa sulit tugas yang harus dia lakukan. Setelah berkhotbah, ia merasa putus asa dan khawatir bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dia lakukan untuk mereka karena masalah bahasa. Brainerd membutuhkan penerjemah ke dalam bahasa Indian. Syukurlah beberapa bulan kemudian ada seorang Indian Kristen yang dapat menolongnya. Penerjemah ini bahkan menolong Brainerd mendirikan sekolah bagi para orang Indian. Mereka meminta tolong kepada orang-orang yang ada di New York untuk mendirikan sekolah.

Tidak hanya kemudahan yang dia dapatkan, kesulitan pun sering kali masuk ke dalam perjalanan pelayanannya. Ia pernah tersesat di hutan dan terpaksa tidur di udara terbuka, pencobaan menghimpit jiwanya ketika menempuh perjalanan di hutan yang lebat, sampai-sampai dia pernah berharap dapat kehilangan kesadaran untuk selamanya. Namun melalui penderitaan yang dia alami, justru imannya semakin diteguhkan. Dia berkata, “Aku tertindas itu baik bagiku, agar aku bisa sepenuhnya mati terhadap dunia.” Brainerd akhirnya harus berpisah dengan orang-orang Indian di Kaunaumeek karena orang kulit putih mulai merampas tanah mereka. Orang-orang Indian di Kaunaumeek harus pindah daerah. Mereka begitu sedih, karena harus berpisah dengan Brainerd. Pelayanan Brainerd di Kaunaumeek ternyata tidaklah sia-sia.
Tugas selanjutnya kepada orang Indian adalah di daerah Sungai Delaware. Sepanjang hari dia berkuda dari satu tempat ke tempat yang lain, menghimpun pendengar dan menceritakan mengenai anugerah Allah. Di tengah-tengah itu dia tidak pernah melalaikan saat teduhnya setiap hari. Dia senantiasa bertekun melayani di sana, meskipun kondisi tubuhnya semakin hari semakin lemah. “Saya tidak memiliki konsep tentang sukacita dari dunia ini; saya tidak peduli di mana atau bagaimana saya hidup, atau penderitaan apa yang harus saya alami, asalkan saya dapat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus.” Kesulitan mulai hadir kembali. Ada guru-guru agama yang mengancam akan menyihir dan meracuni orang-orang Indian yang menerima Kristus. Bukan hanya kesulitan dari pihak luar, dari sisi bahasa pun muncul. Orang Indian memiliki bahasa Indian yang terbagi ke dalam berbagai dialek tertentu. Tidak ada keseragaman dalam bahasa Indian. Kosa kata bahasa Indian juga sangat tidak memadai. Brainerd menceritakan, “Tidak ada kata-kata dalam bahasa Indian yang dapat mengartikan kata ini: Tuhan, Juru Selamat, keselamatan, pendosa, keadilan, penghukuman, iman, pertobatan, pembenaran, adopsi, pengudusan, anugerah, kemuliaan, sorga,” maka sangat sulit sekali menjelaskan Injil kepada mereka. Akhirnya Brainerd menggunakan bahasa-bahasa yang lebih mudah untuk mengartikannya. Brainerd melayani hanya dengan bersandarkan kepada pertolongan Tuhan semata.

Di Crossweeksung merupakan puncak keberhasilan pelayanan Brainerd yang Tuhan izinkan dia alami. Telah lama Brainerd bergumul demi supremasi Kristus dinyatakan di tengah-tengah orang Indian. Ibarat perempuan sakit bersalin dia menunggu pertobatan orang-orang Indian itu. Dalam pelayanan Brainerd di sana, banyak orang Indian mau mendengar khotbah Brainerd dan jumlah orang-orang yang dilayani terus bertambah dengan pesatnya. Setelah beberapa waktu, Tuhan menggerakkan hati orang-orang Indian di Crossweeksung untuk datang dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap khotbah Brainerd. Mereka begitu tergugah dan akhirnya satu per satu bertobat. Tidak sedikit orang yang sering mabuk-mabukan kembali kepada Kristus. Hati yang paling keras pun dipaksa tunduk kepada kisah Kristus. Ada seorang wanita Indian yang tidak tahu bahwa manusia memiliki jiwa. Dia penasaran pada pertemuan ibadah yang dilakukan Brainerd, sementara Brainerd berkhotbah perempuan ini seolah-olah menjerit dalam hatinya. Selama berjam-jam dia jatuh terbaring di atas tanah dan terus mengucapkan, “Kasihanilah aku dan tolong aku untuk memberikan hatiku kepada Tuhan.” Ini adalah sebuah manifestasi kuasa Allah. Banyak yang bertobat, menangis, percaya kepada Kristus melalui khotbah Brainerd dan Brainerd menjadi gembala bagi kawanan petobat baru tersebut. Namun akibat kesehatan Brainerd yang memburuk, akhirnya pelayanannya harus diserahkan kepada saudaranya, John Brainerd.

Meskipun hidupnya begitu singkat dan pelayanan yang menghasilkan buah nyata tidak ia nikmati lama, namun orang-orang akan mengenangnya sebagai misionaris yang melayani dengan setia demi Kristus. Di dalam keseluruhan khotbahnya, Brainerd menekankan Kristologi dengan begitu kental. “Acap kali saya kagum akan kenyataan bahwa topik apa pun yang sedang saya bahas, setelah menguraikan dengan panjang lebar dan menjelaskan kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya, dengan sendirinya saya terbawa kepada Kristus sebagai pokok setiap topik. Bila saya membahas Pribadi Allah dan kesempurnaan-Nya yang agung, saya kemudian terbawa untuk berbicara tentang Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju Bapa…”

Brainerd bukan saja berhasil menjangkau ratusan orang Indian, tetapi dia juga berhasil mendidik orang-orang Indian ini agar memiliki rohani yang dewasa. Brainerd mencatat, “Mereka mempertanyakan banyak hal dari doktrin-doktrin yang saya sampaikan, untuk dapat lebih dalam memahaminya; khususnya tentang doktrin predestinasi; dan terkadang mereka menunjukkan pemahaman yang baik sekali tentang doktrin-doktrin ini, yang terbukti dari jawaban yang mereka berikan atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan pada saat pelajaran katekismus.”

Brainerd adalah sosok pemuda yang giat mengobarkan api Injil di tengah-tengah suku Indian. Dalam perjalanannya, memang dia layak disebut misionaris, karena sang misionaris ini rela menempuh perjalanan sulit di daerah sungai, pegunungan, tempat terpencil, dengan penyakit paru-parunya, demi Injil agar dapat dikumandangkan bagi orang-orang yang tersesat. Kata-katanya sarat dengan perasaan rohani yang lembut dan limpah dengan kesetiaannya memberitakan Injil:

“Namun kini pemikiran-pemikiran ini (untuk menetap, dan lain-lain) hancur berkeping-keping, bukan dengan paksa, melainkan dengan pilihan sukarela, sebab saya merasa bahwa Allah telah bekerja dalam hidup saya untuk mempersiapkan saya hidup dalam kesendirian dan penderitaan, dan bahwa saya tidak akan kehilangan apa-apa dalam hal yang terkait dengan dunia, jadi saya tidak rugi apa pun bila saya melepaskan semua keinginan itu. Bagi saya adalah baik bila saya miskin, tanpa rumah dan keluarga, dan tanpa kenyamanan hidup yang dinikmati umat Allah yang lain, untuk mana saya bersukacita bagi mereka… Segenap pikiran dan kerinduan saya menyerukan, ‘Ini saya, Tuhan, utuslah saya, utuslah saya sampai ke ujung bumi; utuslah saya kepada bangsa kafir yang liar dan ganas di padang belantara; utuslah saya menjauhi segala sesuatu yang dinamakan kenyamanan di bumi, atau kenyamanan duniawi, utuslah saya bahkan kepada maut sekalipun, bila itu dalam pelayanan bagi-Mu dan untuk memperluas kerajaan-Mu.'
Kondisi fisik Brainerd melemah seiring bertambahnya umur dan semakin banyak tugas yang dia selesaikan di dunia. Terkadang dia tidak kuat melaksanakan tugas sehari-hari sebagai pendeta. Permintaan khotbah dia tolak, jadwal rutin untuk menulis buku hariannya pun terhenti, infeksi paru-parunya semakin parah, tubuhnya kurus kering, dan kakinya tidak kuat berdiri. Kekekalan tampaknya sudah di depan mata Brainerd. Meskipun demikian, dalam beberapa waktu tertentu dia berjuang memaksa diri untuk berkhotbah dan melayani jemaatnya.
“Aku telah berbaring selama lebih dari tiga pekan dalam kelemahan tubuh; sepanjang waktu itu tiap hari atau tiap jam aku menyangka akan masuk ke dalam dunia yang kekal; terkadang aku sudah begitu parah sehingga berjam-jam tidak mampu berbicara. Oh, alangkah pentingnya kehidupan rohani yang suci bagiku pada waktu ini! Aku ingin sekali menganjurkan pada semua teman-temanku supaya mereka sungguh-sungguh hidup bagi Allah; dan khususnya mereka yang direncanakan untuk, atau terlibat dalam pelayanan di tempat kudus. Hai saudaraku yang kekasih, jangan anggap cukup untuk hidup seperti orang Kristen biasa…”

“Seandainya saya memiliki seribu jiwa, dan bila ada gunanya sedikit saja, akan saya serahkan semuanya kepada Allah…” Sumber

No comments: